Adakah sebuah harapan seseorang yang lebih tinggi derajatnya dalam pandangan Allah SWT daripada terbentuknya cara berislam yang sempurna? Tidak ada. Tidak akan pernah ada lagi cita-cita yang lebih luhur daripada keberislaman seseorang yang utuh.
Tidak akan pernah ada keinginan yang lebih mulia daripada terbangunnya keberislaman sempurna. Tidak akan pernah derajat yang paling mulia selain memenuhi panggilan Allah SWT dengan membawa diri dalam tingkat keberislaman yang sejati.
Lalu, adakah cara paling mudah untuk memperoleh derajat yang sedemikian tinggi di mata makhluk dan dalam penilaian khalik ini? Tentu, sudah banyak jalan yang telah sampai kepada kita, sebanyak pilihan-pilihan yang mungkin kita lakukan. Tetapi, tentu saja, jalan paling mungkin adalah jika kita menggenggam Alquran suci sebagai pelita dan kemudian menelusuri jalan-jalan yang telah digariskan oleh Baginda Muhammad SAW.
Cara itu, antara lain, dapat kita tangkap dari Sang Rasul yang “Ada empat sifat yang dengan itu keberislaman seseorang akan sempurna, meski kesalahannya menjulang dari ujung ke ujung, yakni: kejujuran, syukur, memiliki rasa malu, dan akhlak yang baik.
Jika menggunakan alat ukur ini, sungguh akan sangat mudah bagi kita untuk mengetahui kadar diri, sudah seberapa sempurnakah keberislaman kita? Kalau kita terlalu sering tidak jujur, itu artinya kita terlalu sering diliputi tindakan berbohong alias berdusta.
Karena itu, keberislaman amatlah tidak mungkin atas dasar kebohongan, Dan, jika seseorang melakukan kebohongan, ia telah meninggalkan kejujuran. Karena itu pula, keberislamannya dipertanyakan. Kenapa? Peringatan Junayd bisa kita jadikan alternative rujukan.
Menurut sufi besar itu, “Orang yang jujur berubah 40x dalam sehari, sementara yang tidak jujur apalagi riya akan tetap berada dalam satu keadaan selama 40 tahun." Artinya, jika kejujuran menghiasi seseorang, ia akan mengalami perkembangan menuju kesempurnaan scara terus-menerus, bahkan 40x dalam sehari. Yang berdusta? Dusta itu justru akan membelenggunya sehingga tak pernah berubah hingga 40 tahun lamanya. Dusta akan terus melindunginya agar ia tetap merasa ‘aman’ dalam posisi berdusta.
Selain kejujuran sebagai jalan terpendek menuju keberislaman yang sempurna, maka membiasakan diri bersyukur atas segala karunia, baik yang dapat dirasakan maupun yang tidak dapat dirasakan, adalah tahapan selanjutnya.
Begitu pentingnya rasa syukur ini sampai-sampai Allah menamakan Diri-Nya dengan ‘As-Syakuur’. Bagi orang-orang yang sangat dekat dengan Allah SWT, rasa syukur bukan lagi karena kita diberi sesuatu, bahkan terhadap karunia yang ditunda sekalipun wajib disyukuri. Lebih dari itu semua, bagi mereka, tidak mendapatkan sesuatu haruslah pula disyukuri.
Sebab inti bersyukur bukan pada karunia yang kita terima, tetapi bagaimana kita selalu mengingat Sang Pemberi. Karena itu, begitu banyaknya karunia yang telah diperoleh, Nabi Daud AS sampai bingung bagaimana cara membalas semua kebaikan Allah.
Beliau bertanya, “Ya Allah, mana mungkin hamba tidak akan bersyukur kepada-Mu sementara tindakan bersyukur itu sendiri juga merupakan karunia yang harus hamba syukuri.” Begitu Allah memberinya kesempatan untuk bersyukur, bagi Nabi Daud kesempatan itu merupakan karunia luar biasa karena tidak mudah bagi siapapun untuk selalu berada dalam keadaan bersyukur. Jadi, jika kita bersyukur kepada Allah karena kita tidak lupa untuk bersyukur, ini karunia yang luar biasa sehingga kita wajib mensyukurinya. Kurang sempurna keberislaman sseorang kalau ia meninggalkan kebiasaan bersyukur. Bersyukur adalah penyempurna keberislaman seseorang.
Yang ketiga adalah rasa malu, jika rasa malu sudah hilang tak bersisa, semua jalan yang telah disyariatkan agama pun akan ia langgar tanpa malu-malu. Hatinya tak akan pernah luluh meski berpanjang-panjang tiang firman Allah dihujamkan ke hatinya.
Kalau rasa malu sudah hilang tandas, tuhan juga akan dengan mudah ia lupakan. Semua ruang-ruang terdalam di hatinya akan dipenuhi sifat-sifat negatif serta akan diliputi oleh kegemarannya terhadap dunia.
Seorang sufi besar, Yahya Bin Mu’adz, pernah menyifati rasa malu dengan indah, “Bagi manusia yang malu dihadapan Allah SWT ketika taat, maka Allah akan malu ketika ia berbuat dosa.” Maka, mengundang rasa malu yang sudah terlanjur jauh meninggalkan kita, tntu akan amat sulit. Betapa dahsyatnya rasa malu ini, sampai-sampai Tuhan Yang Maha Perkasa sekalipun memliki sifat itu.
Menurut sahabat Muadz Bin Jabal RA, sebuah Hadits Qudsi meriwayatkan soal rasa malu Tuhan. “Hamba-Ku telah berlaku adil terhadap diri-Ku. Ia meminta kepada-Ku, tetapi Aku malu untuk tidak mengabulkan keinginannya. Padahal, ia tidak pernah malu bermaksiat kepada-Ku.”
Nabi yang mulia mengingatkan kita bahwa rasa malu termasuk sebagian dari iman. Kurang sempurna bangunan keimanan seseorang jika ia tidak memiliki rasa malu. Sejatinya, malu rasanya kita mengundang kembali rasa malu untuk bersemayam dalam hati kita karena ia terlanjur malu menghuni rumah yang menolak kehadiran rasa malu. “Allah malu menyerahkan Buku Induk Akhirat kepada hamba-Nya secara berhadap-hadapan karena isinya Cuma daftar dosa-dosa,” kata Imam al-Qusyairy an-Naishabury dalam bukunya, ar-Risalah al-Qusyairiyah, mengutip sebuah Hadits Qudsi. Wallaahu ‘lamu bish-shawaab.
Sumber : KH A Hasyim Muzadi
Cara itu, antara lain, dapat kita tangkap dari Sang Rasul yang “Ada empat sifat yang dengan itu keberislaman seseorang akan sempurna, meski kesalahannya menjulang dari ujung ke ujung, yakni: kejujuran, syukur, memiliki rasa malu, dan akhlak yang baik.
Jika menggunakan alat ukur ini, sungguh akan sangat mudah bagi kita untuk mengetahui kadar diri, sudah seberapa sempurnakah keberislaman kita? Kalau kita terlalu sering tidak jujur, itu artinya kita terlalu sering diliputi tindakan berbohong alias berdusta.
Karena itu, keberislaman amatlah tidak mungkin atas dasar kebohongan, Dan, jika seseorang melakukan kebohongan, ia telah meninggalkan kejujuran. Karena itu pula, keberislamannya dipertanyakan. Kenapa? Peringatan Junayd bisa kita jadikan alternative rujukan.
Menurut sufi besar itu, “Orang yang jujur berubah 40x dalam sehari, sementara yang tidak jujur apalagi riya akan tetap berada dalam satu keadaan selama 40 tahun." Artinya, jika kejujuran menghiasi seseorang, ia akan mengalami perkembangan menuju kesempurnaan scara terus-menerus, bahkan 40x dalam sehari. Yang berdusta? Dusta itu justru akan membelenggunya sehingga tak pernah berubah hingga 40 tahun lamanya. Dusta akan terus melindunginya agar ia tetap merasa ‘aman’ dalam posisi berdusta.
Selain kejujuran sebagai jalan terpendek menuju keberislaman yang sempurna, maka membiasakan diri bersyukur atas segala karunia, baik yang dapat dirasakan maupun yang tidak dapat dirasakan, adalah tahapan selanjutnya.
Begitu pentingnya rasa syukur ini sampai-sampai Allah menamakan Diri-Nya dengan ‘As-Syakuur’. Bagi orang-orang yang sangat dekat dengan Allah SWT, rasa syukur bukan lagi karena kita diberi sesuatu, bahkan terhadap karunia yang ditunda sekalipun wajib disyukuri. Lebih dari itu semua, bagi mereka, tidak mendapatkan sesuatu haruslah pula disyukuri.
Sebab inti bersyukur bukan pada karunia yang kita terima, tetapi bagaimana kita selalu mengingat Sang Pemberi. Karena itu, begitu banyaknya karunia yang telah diperoleh, Nabi Daud AS sampai bingung bagaimana cara membalas semua kebaikan Allah.
Beliau bertanya, “Ya Allah, mana mungkin hamba tidak akan bersyukur kepada-Mu sementara tindakan bersyukur itu sendiri juga merupakan karunia yang harus hamba syukuri.” Begitu Allah memberinya kesempatan untuk bersyukur, bagi Nabi Daud kesempatan itu merupakan karunia luar biasa karena tidak mudah bagi siapapun untuk selalu berada dalam keadaan bersyukur. Jadi, jika kita bersyukur kepada Allah karena kita tidak lupa untuk bersyukur, ini karunia yang luar biasa sehingga kita wajib mensyukurinya. Kurang sempurna keberislaman sseorang kalau ia meninggalkan kebiasaan bersyukur. Bersyukur adalah penyempurna keberislaman seseorang.
Yang ketiga adalah rasa malu, jika rasa malu sudah hilang tak bersisa, semua jalan yang telah disyariatkan agama pun akan ia langgar tanpa malu-malu. Hatinya tak akan pernah luluh meski berpanjang-panjang tiang firman Allah dihujamkan ke hatinya.
Kalau rasa malu sudah hilang tandas, tuhan juga akan dengan mudah ia lupakan. Semua ruang-ruang terdalam di hatinya akan dipenuhi sifat-sifat negatif serta akan diliputi oleh kegemarannya terhadap dunia.
Seorang sufi besar, Yahya Bin Mu’adz, pernah menyifati rasa malu dengan indah, “Bagi manusia yang malu dihadapan Allah SWT ketika taat, maka Allah akan malu ketika ia berbuat dosa.” Maka, mengundang rasa malu yang sudah terlanjur jauh meninggalkan kita, tntu akan amat sulit. Betapa dahsyatnya rasa malu ini, sampai-sampai Tuhan Yang Maha Perkasa sekalipun memliki sifat itu.
Menurut sahabat Muadz Bin Jabal RA, sebuah Hadits Qudsi meriwayatkan soal rasa malu Tuhan. “Hamba-Ku telah berlaku adil terhadap diri-Ku. Ia meminta kepada-Ku, tetapi Aku malu untuk tidak mengabulkan keinginannya. Padahal, ia tidak pernah malu bermaksiat kepada-Ku.”
Nabi yang mulia mengingatkan kita bahwa rasa malu termasuk sebagian dari iman. Kurang sempurna bangunan keimanan seseorang jika ia tidak memiliki rasa malu. Sejatinya, malu rasanya kita mengundang kembali rasa malu untuk bersemayam dalam hati kita karena ia terlanjur malu menghuni rumah yang menolak kehadiran rasa malu. “Allah malu menyerahkan Buku Induk Akhirat kepada hamba-Nya secara berhadap-hadapan karena isinya Cuma daftar dosa-dosa,” kata Imam al-Qusyairy an-Naishabury dalam bukunya, ar-Risalah al-Qusyairiyah, mengutip sebuah Hadits Qudsi. Wallaahu ‘lamu bish-shawaab.
Sumber : KH A Hasyim Muzadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar